Berita  

Social Commerce Meledak, UMKM Lokal Terancam: Perlu Regulasi dan Strategi Baru

Avatar photo
Social Commerce Meledak, UMKM Lokal Terancam: Perlu Regulasi dan Strategi Baru

BERITAKULIAH.COM, Bogor — Pada 2024–2025, pola belanja masyarakat Indonesia berubah drastis. Transaksi tidak lagi hanya terjadi melalui marketplace besar, tetapi bergeser ke social commerce—platform hiburan yang berubah menjadi etalase dagang. Pertanyaannya, di tengah euforia diskon dan siaran langsung 24 jam, apakah UMKM lokal benar-benar diuntungkan atau justru mulai kehilangan panggungnya?

Kompetisi Harga yang Tidak Sehat

Social commerce memang menawarkan kemudahan: harga lebih murah, proses belanja cepat, dan promosi yang gencar. Namun, di balik itu ada tanda bahaya.

Pertama, kompetisi harga menjadi brutal. Banyak produk impor massal masuk melalui kanal live shopping dengan harga yang tak masuk akal. UMKM lokal yang memproduksi barang secara manual, skala kecil, dan bahan baku terbatas jelas tidak mampu bersaing.

Kedua, arus barang murah mengaburkan nilai produk lokal. Ketika konsumen sudah terbiasa membeli tas, kosmetik, atau pakaian dengan harga sangat rendah, produk UMKM—yang lebih etis, handmade, dan berkualitas—menjadi terlihat “mahal”, padahal justru realistis.

Ketiga, ketergantungan UMKM pada satu ekosistem makin berbahaya. Banyak pelaku usaha kecil kini rela banting harga demi memenangkan algoritma live shopping. Padahal, ini membunuh margin dan merusak kesehatan finansial usaha di jangka panjang.

Mengapa UMKM Kalah di Arena Social Commerce?

1. Dominasi Platform dan Skala Ekonomi

Platform global memiliki sumber daya besar untuk:

  • memberikan subsidi ongkir,
  • memberikan voucher masif,
  • mempromosikan produk impor massal,

Sementara UMKM tidak punya kemampuan serupa. Alhasil, arena pertarungan tidak adil sejak awal.

2. Pola Belanja Konsumen yang Berubah

Konsumen kini:

  • lebih impulsif,
  • lebih mudah tergoda harga,
  • menghabiskan waktu lama di live streaming,

yang semuanya mengarah pada belanja cepat, bukan belanja berdasarkan nilai produk.

UMKM yang dulu unggul karena kedekatan dengan pelanggan kini tertinggal karena algoritma lebih menentukan dibanding hubungan personal.

3. Keterbatasan Literasi Digital UMKM

Banyak UMKM belum siap tampil secara profesional di live shopping:

  • pencahayaan buruk,
  • narasi produk lemah,
  • tidak konsisten siaran,
  • tidak paham analitik dan konversi,

sehingga kalah dengan seller besar yang beroperasi layaknya studio TV mini.

Dua UMKM, Dua Nasib Berbeda

UMKM A (Kerajinan kulit):
Menolak perang harga dan fokus memperkuat branding, membuat website, serta mengedepankan kualitas. Ia masuk social commerce hanya untuk awareness, bukan untuk banting harga.
Hasil: omzet stabil, pelanggan loyal bertambah, dan margin tetap sehat.

UMKM B (Fashion murah):
Masuk live shopping setiap hari, menawarkan diskon besar, dan mengikuti tren harga kompetitor.
Hasil: penonton banyak, produk laris, tetapi keuntungan menipis dan modal terus habis.

Dua contoh ini menunjukkan bahwa bukan social commerce-nya yang salah, tetapi strategi yang tidak sesuai dengan daya saing UMKM.

Apa yang Harus Dilakukan?

1. Pemerintah: Perlu Regulasi yang Melindungi UMKM

Langkah yang bisa diambil:

  • Membatasi dominasi produk impor murah.
  • Mewajibkan label asal produk yang jelas.
  • Memberi insentif pajak dan subsidi digitalisasi untuk UMKM.
  • Mendorong platform memprioritaskan produk lokal di halaman rekomendasi.

Ini bukan proteksionisme, tetapi leveling the playing field agar UMKM bisa bernafas.

2. UMKM: Fokus pada Nilai, Bukan Harga

UMKM perlu membangun keunggulan yang sulit ditiru:

  • cerita produk (storytelling),
  • kualitas bahan,
  • desain unik,
  • layanan personal,
  • kemasan premium.

Kemenangan UMKM ada pada identitas, bukan kompetisi harga.

3. Literasi Digital Harus Ditingkatkan

Pelaku UMKM perlu memahami:

  • teknik live selling,
  • branding visual,
  • analitik performa,
  • pemasaran jangka panjang.

Konten yang profesional dan konsisten jauh lebih berpengaruh daripada diskon besar sesaatJangan hanya menggantungkan bisnis pada satu platform. UMKM bisa:

  • menjual di website sendiri,
  • menggunakan WhatsApp Business,
  • membuat program loyalitas,
  • bekerja sama dengan komunitas lokal.

Semakin banyak sumber penjualan, semakin aman bisnis.

Social Commerce Harus Membawa Manfaat, Bukan Melahirkan Ketimpangan

Social commerce bukan musuh UMKM. Ia hanya alat. Yang menjadi persoalan adalah ketika alat tersebut menguntungkan pihak besar secara berlebihan dan menenggelamkan pelaku kecil.

Di tengah ramainya live shopping dan perang harga yang tidak sehat, UMKM membutuhkan perlindungan yang adil dan strategi yang cerdas. Karena pada akhirnya, keberlanjutan ekonomi Indonesia tidak ditentukan oleh platform global, tetapi oleh kemampuan UMKM lokal untuk tetap hidup dan berkembang

Penulis: Ridwan Hakim (SI) STMIK TAZKIA

Editor: Bifanda Ariandhana, Tim BeritaKuliah.com