Kebebasan berekspresi adalah salah satu fondasi utama dalam kehidupan demokrasi. Tiap individu memiliki hak untuk mengungkapkan ide, kritik, dan harapan tanpa merasa takut. Namun, di zaman digital saat ini, garis antara kebebasan dan penyalahgunaan semakin samar. Media sosial dan platform online memberikan kesempatan bagi siapa saja untuk berbicara, namun tidak semua menggunakannya dengan bijak. Sebagai mahasiswa sistem informasi, saya memandang masalah ini tidak hanya dari perspektif sosial, tetapi juga dari aspek teknologi dan tanggung jawab nasional.
Teknologi informasi telah merubah cara orang berinteraksi. Sebuah postingan di media sosial mampu menjangkau ribuan orang dalam sekejap. Sayangnya, kecepatan informasi tidak selalu disertai dengan akurasi dan etika. Banyak yang bersembunyi di balik layar untuk menebar kebencian, berita palsu, dan fitnah, seakan itu merupakan bagian dari kebebasan berpendapat. Sebenarnya, kebebasan tanpa tanggung jawab dapat merusak fondasi persatuan dan mengancam kedaulatan informasi negara.
Sebagai mahasiswa teknologi informasi, saya percaya bahwa pertahanan negara di era kontemporer tidak hanya terjadi di battlefield, tetapi juga di dunia maya. Membela bangsa berarti mempertahankan agar ruang publik daring tetap bersih, aman, dan beretika. Mahasiswa yang memahami sistem informasi, keamanan siber, dan algoritma media sosial memiliki peranan penting dalam mendidik masyarakat agar tidak mudah terpengaruh dan tetap waspada terhadap setiap informasi yang beredar.
Kebebasan berpendapat seharusnya ditujukan untuk menciptakan, bukan meruntuhkan. Umpan balik yang positif, ide-ide yang inovatif, dan dialog yang beradab merupakan bentuk puncak dari kebebasan yang bermartabat. Saat mahasiswa dengan berani menyampaikan pandangan secara sopan dan berdasarkan data, itu mencerminkan cinta sejati terhadap negara. Karena, hanya dengan keberanian untuk menyampaikan ide yang benar dan bermanfaat, kita dapat ikut berkontribusi dalam memperbaiki kebijakan dan arah pembangunan negara.
Di samping itu, sebagai mahasiswa ilmu komputer, kami memiliki kewajiban etis untuk memastikan bahwa teknologi yang kami kembangkan tidak digunakan untuk menekan kebebasan berpendapat, melainkan untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap informasi yang akurat. Inovasi seperti sistem identifikasi hoaks, platform pembelajaran digital, atau algoritma penanggulangan disinformasi merupakan wujud kontribusi nyata bela negara di ranah siber. Dengan demikian, teknologi bukanlah sebuah ancaman, melainkan sarana untuk memperkuat demokrasi dan kemandirian suatu bangsa.
Namun, kebebasan untuk berpendapat juga memerlukan kedewasaan dalam berpikir. Tidak semua yang kita percaya harus diterapkan kepada orang lain. Nilai-nilai seperti menghargai perbedaan, rasa empati, dan toleransi harus senantiasa dipelihara. Bela negara juga mencakup memelihara keharmonisan sosial di tengah perbedaan pendapat. Dalam situasi ini, mahasiswa perlu menjadi panutan — tidak hanya aktif berkomunikasi, tetapi juga cerdas dalam mendengarkan dan memahami berbagai perspektif.
Akhirnya, kebebasan berpendapat bukanlah hak yang tak terbatas, tetapi sebuah amanah yang memerlukan tanggung jawab. Kita memiliki kebebasan berbicara, namun perlu menyadari konsekuensinya bagi orang lain dan bagi negara secara keseluruhan. Sebagai mahasiswa ilmu komputer yang memiliki jiwa patriotik, saya meyakini bahwa pertarungan di zaman digital adalah upaya untuk menegakkan kejujuran, memelihara norma, dan menguatkan kesatuan lewat teknologi serta pemikiran analitis. Dengan begitu, kita dapat menjadi generasi yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga kuat dalam memperjuangkan nilai-nilai kebangsaan di tengah derasnya arus globalisasi informasi