BERITAKULIAH.COM, Jambi — Perkembangan teknologi digital telah membawa perubahan yang sangat signifikan dalam kehidupan remaja Indonesia. Kehadiran internet dan media sosial tidak hanya mempermudah komunikasi, tetapi juga membentuk pola interaksi sosial yang baru. Remaja kini dapat dengan mudah membagikan aktivitas sehari-hari, mengekspresikan pendapat, serta membangun citra diri melalui berbagai platform media sosial. Namun, di balik kemudahan tersebut, media sosial juga menjadi ruang munculnya berbagai fenomena psikologis yang berdampak negatif bagi perkembangan remaja.
Salah satu fenomena yang semakin sering ditemukan adalah body shaming. Body shaming merupakan tindakan memberikan penilaian negatif terhadap tubuh atau penampilan seseorang. Penilaian tersebut dapat berupa komentar, ejekan, atau candaan yang merendahkan. Fenomena ini sering kali dianggap sepele dan lumrah dalam kehidupan sosial. Padahal, bagi remaja yang sedang berada pada tahap pencarian identitas diri, komentar negatif terkait penampilan dapat memberikan tekanan psikologis yang cukup berat.
Di era digital, praktik body shaming tidak hanya terjadi secara langsung dalam interaksi tatap muka, tetapi juga semakin marak melalui media sosial. Kolom komentar, pesan pribadi, dan unggahan di media sosial sering menjadi sarana penyampaian komentar negatif terkait penampilan fisik. Menurut Lisdawati, Ahmadin, dan Bakhtiar (2025), body shaming termasuk dalam bentuk kekerasan psikologis yang dapat memengaruhi kondisi mental individu. Media sosial memperbesar dampak tersebut karena komentar negatif dapat dilihat oleh banyak orang dan tersimpan dalam jangka waktu yang lama.
Remaja merupakan kelompok usia yang rentan terhadap tekanan sosial. Pada fase ini, penerimaan dari lingkungan sekitar memiliki peran penting dalam pembentukan konsep diri. Paparan standar kecantikan yang tidak realistis di media sosial, seperti tubuh ideal, wajah sempurna, dan gaya hidup tertentu, dapat membuat remaja merasa tidak puas dengan dirinya sendiri. Oleh karena itu, fenomena body shaming perlu dikaji secara mendalam karena berpotensi memengaruhi kesehatan mental remaja Indonesia dalam jangka panjang.
Body Shaming sebagai Fenomena Psikologis Remaja di Era Digital
Body shaming pada remaja dapat muncul dalam berbagai bentuk, mulai dari komentar mengenai berat badan, tinggi badan, warna kulit, hingga bentuk wajah dan anggota tubuh lainnya. Dalam konteks budaya masyarakat Indonesia, komentar terkait penampilan fisik sering kali dianggap sebagai bentuk candaan atau perhatian. Namun, ketika komentar tersebut dilakukan secara berulang dan bernada merendahkan, hal tersebut dapat berkembang menjadi body shaming yang berdampak negatif.
Media sosial memiliki peran besar dalam memperluas terjadinya body shaming. Anonimitas dan jarak yang tercipta dalam interaksi daring membuat sebagian individu merasa lebih bebas memberikan komentar negatif tanpa mempertimbangkan perasaan orang lain. Selain itu, budaya membandingkan diri dengan orang lain di media sosial juga memperparah kondisi tersebut. Remaja cenderung membandingkan penampilan dengan figur publik, selebritas, atau influencer yang sering kali menampilkan citra tubuh ideal yang tidak realistis.
Lisdawati et al. (2025) menjelaskan bahwa body shaming dapat memengaruhi cara individu memandang dirinya sendiri. Remaja yang sering menerima komentar negatif mengenai penampilan fisiknya cenderung mengalami penurunan rasa percaya diri dan membentuk konsep diri yang negatif. Kondisi ini dapat memengaruhi berbagai aspek kehidupan remaja, termasuk hubungan sosial, prestasi akademik, dan kesejahteraan psikologis secara keseluruhan.
Analisis Psikologis Dampak Body Shaming pada Remaja
Dari sudut pandang psikologi perkembangan, remaja berada pada tahap yang sangat sensitif terhadap penilaian sosial. Pada fase ini, individu berusaha membentuk identitas diri dan memperoleh pengakuan dari lingkungan sekitarnya. Ketika remaja menerima penilaian negatif terkait penampilan fisik, hal tersebut dapat mengganggu proses pembentukan identitas diri yang sehat.
Penelitian yang dilakukan oleh Dewi et al. (2023) menunjukkan bahwa individu yang mengalami body shaming cenderung memiliki tingkat kepercayaan diri yang lebih rendah. Rendahnya kepercayaan diri dapat memengaruhi keberanian dalam berinteraksi sosial, mengemukakan pendapat, serta mencoba hal-hal baru. Remaja yang merasa tidak percaya diri juga cenderung menghindari situasi sosial yang melibatkan penilaian terhadap penampilan, seperti tampil di depan umum.
Selain berdampak pada kepercayaan diri, body shaming juga berkaitan erat dengan munculnya kecemasan. Pitayanti dan Hartono (2021) menemukan adanya hubungan antara pengalaman body shaming dengan tingkat kecemasan pada remaja. Remaja yang sering menerima komentar negatif mengenai penampilan cenderung merasa cemas, takut dinilai oleh orang lain, dan khawatir tidak diterima dalam lingkungan sosialnya.
Kecemasan yang dialami remaja akibat body shaming dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti rasa takut berlebihan, perasaan tidak aman, serta kecenderungan menarik diri dari pergaulan sosial. Apabila kondisi ini berlangsung dalam jangka waktu yang lama, remaja berisiko mengalami gangguan kesehatan mental yang lebih serius, seperti gangguan citra tubuh dan depresi. Oleh karena itu, body shaming tidak dapat dipandang sebagai masalah ringan, melainkan sebagai fenomena psikologis yang memerlukan perhatian serius.
Peran Media Sosial dalam Memperkuat Body Shaming
Media sosial tidak hanya menjadi sarana komunikasi, tetapi juga ruang pembentukan standar sosial tertentu, termasuk standar kecantikan dan penampilan fisik. Konten visual yang mendominasi media sosial sering kali menampilkan citra yang ideal dan tidak realistis. Hal ini dapat memengaruhi cara remaja memandang tubuhnya sendiri.
Paparan konten tersebut secara terus-menerus dapat membuat remaja merasa tidak puas dengan penampilan fisiknya. Ketidakpuasan ini kemudian diperkuat oleh komentar negatif dari lingkungan sekitar, baik secara langsung maupun melalui media sosial. Dalam kondisi tersebut, body shaming dapat menjadi pemicu munculnya tekanan psikologis yang semakin berat.
Selain itu, algoritma media sosial yang menampilkan konten serupa secara berulang dapat memperkuat persepsi bahwa standar kecantikan tertentu adalah hal yang mutlak. Remaja yang tidak sesuai dengan standar tersebut berisiko menjadi sasaran body shaming. Oleh karena itu, pemahaman kritis terhadap penggunaan media sosial menjadi hal yang sangat penting bagi remaja.
Solusi dan Rekomendasi
Penanganan fenomena body shaming pada remaja di era digital memerlukan keterlibatan berbagai pihak. Pertama, remaja perlu mendapatkan edukasi mengenai kesehatan mental dan pentingnya penerimaan diri. Edukasi ini dapat membantu remaja memahami bahwa setiap individu memiliki keunikan dan tidak perlu memenuhi standar kecantikan tertentu untuk mendapatkan pengakuan sosial.
Kedua, peningkatan literasi digital sangat diperlukan agar remaja mampu menggunakan media sosial secara bijak. Remaja perlu dibekali kemampuan untuk menyaring informasi, memahami bahwa konten di media sosial sering kali tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, serta mampu merespons komentar negatif dengan cara yang sehat dan konstruktif.
Ketiga, peran keluarga sangat penting dalam memberikan dukungan emosional kepada remaja. Orang tua diharapkan mampu menciptakan lingkungan yang aman dan terbuka, sehingga remaja merasa nyaman untuk menceritakan pengalaman negatif yang mereka alami, termasuk pengalaman body shaming. Dukungan keluarga dapat membantu remaja membangun ketahanan psikologis dan meningkatkan kepercayaan diri.
Selain itu, institusi pendidikan juga memiliki peran strategis dalam menangani fenomena body shaming. Sekolah dan perguruan tinggi dapat menyediakan layanan konseling, mengadakan program edukasi kesehatan mental, serta menciptakan kebijakan yang mendorong lingkungan belajar yang aman dan inklusif. Kampanye anti-body shaming juga dapat menjadi salah satu upaya preventif yang efektif.
Penutup
Body shaming merupakan fenomena psikologis yang semakin marak di kalangan remaja Indonesia di era digital. Fenomena ini tidak hanya berdampak pada aspek fisik, tetapi juga memiliki pengaruh besar terhadap kesehatan mental remaja, seperti menurunnya kepercayaan diri, meningkatnya kecemasan, serta risiko gangguan psikologis lainnya. Berdasarkan kajian terhadap berbagai sumber ilmiah, dapat disimpulkan bahwa body shaming perlu mendapatkan perhatian serius dari berbagai pihak.
Melalui edukasi kesehatan mental, peningkatan literasi digital, serta dukungan dari keluarga dan institusi pendidikan, diharapkan remaja Indonesia dapat menghadapi tantangan di era digital dengan kondisi psikologis yang lebih sehat. Dengan upaya bersama, praktik body shaming dapat diminimalkan sehingga remaja dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, baik secara fisik maupun mental.
Daftar Pustaka
- Dewi, P. A., Endang, A., & Yanto, Y. (2023). The Phenomenon of Body Shaming among Students at Dehasen University, Bengkulu. Jurnal ISO: Jurnal Ilmu Sosial Politik Humaniora, 3(2), 181–190. https://doi.org/10.53697/iso.v3i2.1086
- Lisdawati, A., Ahmadin, A., & Bakhtiar, B. (2025). Body Shaming. Peshum: Jurnal Pendidikan Sosial dan Humaniora, 4(4). https://doi.org/10.56799/peshum.v4i4.9418
- Pitayanti, A., & Hartono, A. (2021). Hubungan body shaming dengan kecemasan remaja di SMAN Tegalombo, Kecamatan Tegalombo, Kabupaten Pacitan. Health Science Development Journal, 3(1), 40–49. http://e-journal.lppmdianhusada.ac.id/index.php/hsdj/article/view/116
Penulis: Noveza Olivia Putri
Mahasiswa Program Studi Psikologi
Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan
Universitas Jambi













