BERITAKULIAH.COM — Sebagai mahasiswa Informatika, saya meyakini bahwa bela negara di abad ke-21 tidak lagi hanya tentang mengangkat senjata di medan perang. Ancaman kini bergeser ke ruang siber, di mana data pribadi warga negara telah menjadi aset strategis dan sasaran empuk para peretas. Ironisnya, ketika Indonesia gencar membangun “transformasi digital”, fondasi keamanannya justru rapuh. Setiap kebocoran data bukan hanya pelanggaran privasi, melainkan bentuk pelemahan kedaulatan negara secara sistematis.
(ARGUMEN 1: KEAMANAN DATA = PERTAHANAN NASIONAL)
Fakta berbicara: serangan ransomware LockBit 3.0 pada 2024 yang melumpuhkan lebih dari 40 instansi pemerintah membuktikan kerentanan kita. Yang lebih memprihatinkan, 98% data terdampak tidak memiliki backup. Dalam perspektif pertahanan, ini seperti membiarkan gudang senjata tanpa penjaga dan cadangan kunci.
Sebagai calon ahli di bidang ini, saya melihat bahwa negara telah lalai menjadikan keamanan siber sebagai pilar bela negara. Alokasi anggaran untuk infrastruktur keamanan yang memadai masih dipandang sebagai beban, bukan investasi strategis. Padahal, satu serangan yang melumpuhkan layanan publik seperti imigrasi atau bandara dapat menyebabkan kekacauan nasional dan kerugian miliaran rupiah sebuah bentuk serangan yang dampaknya setara dengan sabotase fisik.
(ARGUMEN 2: UU PDP TANPA GIGI: PERTAHANAN HUKUM YANG LEMAH)
Kehadiran Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) adalah langkah progresif. Namun, tanpa aturan turunan yang jelas dan lembaga pengawas independen yang berwenang, UU ini ibarat “benteng tanpa pasukan”.
Dalam konteks bela negara, hukum yang tidak ditegakkan justru membuka celah untuk infiltrasi dan eksploitasi. Ketidakjelasan sanksi bagi instansi yang lalai menciptakan budaya impunitas yang berbahaya. Kita membutuhkan Digital Sovereignty kedaulatan atas data yang hanya bisa diwujudkan dengan hukum yang tidak hanya tertulis, tetapi juga hidup dan ditegakkan.
(SOLUSI & PERAN MAHASISWA INFORMATIKA)
Sebagai generasi muda yang akan memegang kendali teknologi negeri ini, kami memikul tanggung jawab besar. Bela negara bagi kami adalah:
Advokasi Teknis: Mendesak pemerintah untuk segera menyusun Standar Nasional Keamanan Siber yang wajib, mencakup backup, enkripsi, dan audit rutin. Ini adalah amunisi dasar yang harus dimiliki setiap instansi.
Edukasi dan Literasi: Mengampanyekan pentingnya keamanan digital kepada masyarakat. Setiap warga yang terlindungi datanya adalah benteng pertahanan negara.
Inovasi dan Implementasi: Ketika lulus nanti, komitmen kami adalah membangun sistem yang tidak hanya cerdas, tetapi juga aman dan bertanggung jawab. Kami akan menjadi guardian di garis depan pertahanan siber Indonesia.
(PENUTUP)
Kesimpulannya, melindungi data pribadi bukan sekadar urusan privasi, melainkan wujud nyata dari bela negara kontemporer. Kita tidak bisa membiarkan celah siber menjadi pintu belakang yang melemahkan kedaulatan Indonesia. Saatnya pemerintah, institusi, dan seluruh elemen bangsa bersinergi. Bagi kami, mahasiswa Informatika, kode dan sistem yang kami tulis adalah senjata kami, dan keamanan data adalah medan tempur kami yang baru.
Penulis: Priyoga Listyo Ananda