BERITAKULIAH.COM — Beberapa waktu lalu, saya sempat ngobrol dengan teman soal bank. Ia bilang, “Aku pengin pindah ke bank syariah, tapi takut ribet.” Saya cuma senyum, karena dulu saya juga mikir begitu. Tapi setelah paham cara kerjanya, saya malah heran kenapa nggak dari dulu aja kita pakai sistem ini.
Sekarang, dunia keuangan sudah berubah cepat. Semua serba digital, semua serba instan. Tapi di tengah modernitas itu, banyak orang mulai mencari satu hal yang makin jarang ditemukan: keberkahan. Orang nggak cuma mau uangnya bertambah, tapi juga pengin tenang—tanpa rasa khawatir kalau harta yang disimpan mengandung hal yang nggak halal. Dan di situlah perbankan syariah hadir sebagai jawaban.
Lebih dari Sekadar Nama: Mitra, Bukan Pemberi Pinjaman
Kadang orang berpikir, “Bank syariah ya cuma versi Islam dari bank biasa.” Padahal, kalau dilihat dalamnya, bedanya besar banget.
Kalau di bank konvensional, hubungan antara bank dan nasabah itu ibarat pemberi pinjaman dan peminjam. Tapi di sistem syariah, posisinya sejajar: mitra yang bekerja sama untuk tumbuh bareng.
Misalnya lewat akad mudharabah (bagi hasil). Kalau usaha nasabah untung, dua-duanya ikut senang. Kalau rugi, ya ditanggung bersama. Nggak ada pihak yang ditekan atau diperas. Nilai-nilai seperti inilah yang bikin sistem keuangan syariah terasa manusiawi dan adil.
Selain itu, bank syariah juga punya sisi sosial yang kuat. Dana zakat, infak, dan wakaf yang dikelola bisa disalurkan ke masyarakat yang butuh. Jadi, uang yang kita simpan nggak cuma berputar buat diri sendiri, tapi juga memberi manfaat lebih luas.
Teknologi Membuka Jalan Baru: Syariah yang Up-to-Date
Saya termasuk generasi yang nggak bisa lepas dari HP. Jujur aja, kalau nggak bisa diakses lewat aplikasi, saya pasti males. Tapi sekarang, bank syariah sudah jauh lebih siap secara digital.
Lihat aja aplikasi kayak BSI Mobile—buka rekening bisa dari rumah, zakat tinggal klik, transfer antarbank cepat banget. Semua bisa dilakukan tanpa harus antre panjang.
Dulu mungkin orang berpikir, sistem syariah itu ketinggalan zaman. Tapi nyatanya sekarang malah jadi pionir di beberapa inovasi digital. Artinya, kita bisa tetap modern tanpa meninggalkan nilai agama. Itu keren banget menurut saya—karena membuktikan bahwa syariah nggak berarti kuno, tapi justru relevan di zaman yang cepat ini.
Tantangan yang Masih Terasa: Masalahnya di Literasi dan Pangsa Pasar
Walau berkembang pesat, saya akui perbankan syariah masih punya PR besar.
Secara nasional, aset perbankan syariah sudah mencapai sekitar Rp 980,3 triliun (per akhir 2024), sebuah angka fantastis. Namun, pangsa pasarnya (market share) masih sekitar 7,72% dari total aset perbankan nasional. Jelas, ini masih kecil dibanding jumlah Muslim di Indonesia.
Masalahnya bukan di sistem, tapi di literasi. Data OJK menunjukkan tingkat literasi keuangan syariah masih jauh di bawah keuangan konvensional. Kita masih kurang belajar tentang cara kerja bank syariah. Padahal kalau tahu, pasti banyak yang tertarik.
Di kampus saya, Universitas Tazkia, mahasiswa sering diajak diskusi tentang hal ini. Kita nggak cuma belajar teori, tapi juga praktik—gimana akad syariah diterapkan di dunia nyata, gimana nilai tolong-menolong bisa hidup di sektor ekonomi. Dari situ saya sadar, ekonomi Islam itu bukan sekadar hitung-hitungan, tapi sistem yang menjaga keadilan.
Arah Baru Menuju Keberkahan dan Kepemimpinan Global
Uang memang penting. Tapi lebih penting lagi cara kita menggunakannya. Kalau uang kita dikelola dengan cara yang benar, manfaatnya bisa lebih luas—bukan cuma buat diri sendiri, tapi juga buat orang lain. Perbankan syariah ngajarin hal itu: bahwa mencari keuntungan dan menjaga keberkahan bisa jalan bareng.
Potensi kita luar biasa. Dengan pertumbuhan aset perbankan syariah yang terus di atas 9% Year-on-Year, Indonesia punya potensi besar jadi pusat keuangan syariah dunia. Kita punya penduduk Muslim terbanyak, lembaga pendidikan yang fokus pada ekonomi Islam, dan generasi muda yang mulai peduli halal. Tinggal kemauan kolektif untuk beralih dan memperkuat sistemnya.
Penutup: Mulai dari Diri Sendiri
Kadang kita nunggu sistem berubah dulu, baru ikut. Padahal perubahan bisa dimulai dari langkah kecil. Misalnya, buka rekening syariah, belajar akad-akadnya, atau sekadar ngajak orang lain buat paham bedanya.
Karena jujur aja, hidup dengan prinsip syariah itu bukan berarti hidup sempit. Justru lebih luas, lebih tenang, dan lebih bermakna. Bukan cuma soal uang, tapi soal keyakinan bahwa setiap rupiah yang kita pegang itu bersih.
Jadi, kalau ditanya kapan waktu yang tepat buat beralih ke perbankan syariah?
Jawabannya: sekarang.
Penulis: Shofa Audiya Yasyfa, Mahasiswa Universitas Tazkia, Program Studi Manajemen Bisnis Syariah













