Literasi Digital Rendah, Ancaman Nyata di Tengah Gempuran Teknologi

Avatar photo
WhatsApp Image 2025-10-19 at 17.26.44_884f7cee

Sebagai mahasiswa Informatika, saya sering berpikir: bagaimana mungkin di era serba berani seperti sekarang, masyarakat masih mudah percaya berita palsu, tertipu investasi bodong, dan sembarangan membagikan data pribadi? Indonesia bangga menyebut diri sebagai negara digital terbesar di Asia Tenggara, tapi kalau bicara soal literasi digital, realitanya masih jauh dari ideal.

Data Faktual: Potret Literasi Digital Indonesia

Menurut laporan We Are Social dan Meltwater dalam Digital 2024: Indonesia Report, jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 185,3 juta orang, atau sekitar 66,5% dari total populasi pada Januari 2024. Meskipun angka ini menunjukkan peningkatan dari tahun sebelumnya, survei Indeks Literasi Digital Nasional 2023 oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) mengungkapkan bahwa nilai rata-rata literasi digital Indonesia masih berada di angka 3,65 dari skala 5,00, yang berarti masih berada pada kategori “sedang.”

Dampaknya dapat kita lihat langsung. Kominfo mencatat telah menangani 1.615 isu hoaks sepanjang tahun 2023, berdasarkan hasil pemantauan Tim AIS Kominfo. Sementara itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melalui Satgas PASTI melaporkan bahwa sepanjang periode 2017 hingga 2023, telah menghentikan 1.218 entitas investasi ilegal, bersama ribuan pinjaman online dan kegiatan keuangan ilegal lainnya. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia masih menghadapi tantangan dalam mengenali informasi yang valid dan menghindari jebakan digital di dunia maya.

Masalah ini menjadi serius karena tidak hanya menyangkut pendidikan, tetapi juga keamanan nasional. Literasi digital yang rendah membuka peluang bagi penyebaran informasi politik, penipuan, hingga pencurian data pribadi.

Alasan dan Opini: Mengapa Saya Kontra terhadap Arah Kebijakan Saat Ini

  1. Program literasi digital pemerintah masih bersifat seremonial
    Banyak kegiatan yang hanya fokus pada seminar atau kampanye sesaat tanpa tindak lanjut.
    Alasan: Literasi digital tidak bisa dibangun lewat acara sekali jalan. Diperlukan kurikulum berkelanjutan yang diajarkan di sekolah, kampus, dan komunitas agar benar-benar membentuk kebiasaan berpikir kritis.
  2. Fokus pemerintah lebih pada infrastruktur, bukan sumber daya manusia
    Indonesia yang terus membangun jaringan 5G dan pusat data, tapi lupa menyiapkan masyarakat agar siap secara digital.
    Alasan: Teknologi secanggih apa pun akan sia-sia jika pengguna tidak tahu cara menggunakan dengan aman dan bertanggung jawab.
  3. Kurangnya kolaborasi antara akademisi dan lembaga publik
    Potensi mahasiswa Informatika sering tidak dimanfaatkan untuk membantu edukasi digital di masyarakat.
    Alasan: Padahal, banyak kampus yang memiliki kapasitas dan sumber daya untuk membantu pelatihan literasi digital berbasis komunitas.
  4. Minimnya edukasi tentang keamanan data pribadi
    Sebagian besar masyarakat masih belum sadar bahaya membagikan data sembarangan.
    Alasan: Kasus penipuan digital seperti phishing atau pencurian data sering berawal dari kelalaian pengguna yang tidak memahami dasar keamanan siber.
  5. Kesenjangan digital antarwilayah masih lebar
    Literasi digital di kota besar dan daerah terpencil jauh.
    Alasan: Program pemerintah sering gagal di kota besar, sementara daerah tertinggal belum mencapai pelatihan yang memadai. Ini memperparah ketimpangan informasi.

Kesimpulan: Literasi Digital Adalah Pondasi, Bukan Tambahan

Menurut saya, literasi digital bukan hanya keterampilan tambahan, melainkan fondasi utama agar masyarakat bisa bertahan di dunia digital yang penuh risiko. Pemerintah perlu berhenti memikirkan kegiatan kampanye, dan mulai menetapkan kebijakan nasional jangka panjang.

Langkah ke depan harus fokus pada:

  1. Integrasi literasi digital ke dalam kurikulum formal sejak pendidikan dasar.
  2. Kolaborasi antara pemerintah, kampus, dan komunitas teknologi untuk mewujudkan program pelatihan berkelanjutan.
  3. Peningkatan edukasi keamanan siber dan privasi data bagi seluruh lapisan masyarakat.

Sebagai mahasiswa Informatika, saya percaya tugas kita tidak berhenti di ruang lab atau kelas. Kita punya tanggung jawab moral untuk ikut membangun masyarakat yang cerdas digital, karena teknologi tanpa literasi hanyalah alat tanpa arah. Jika dibiarkan begitu saja, Indonesia bisa menjadi negara digital besar—tapi dengan masyarakat yang masih buta digital.

Penulis: Rifat Abhista

Editor: Bifanda Ariandhana, Tim BeritaKuliah.com